Selasa, 17 Desember 2013

Pinta Sang Ayah

Dilema tak berkesudahan yang dia alami menghiasi kisahnya. Sebuah pilihan yang sama-sama berat, wujud buah simalakama yang hadir dalam kehidupan nyata. Ia tahu bahwa restu ayahnya hanya bisa digapai dengan mengabulkan pintanya. Namun, bagaimana kalau sang ayah terlalu  sukar untuk mengerti. Ia tak pernah mengerti, mengapa bisa-bisanya menolak keinginan figur yang ia kasihi dan mengasihinya sedari dulu sampai masa maturasinya. Yang ia tahu bahwa keinginan ayahnya itu memiliki mudarat ketimbang maslahat. Ia hanya bisa mengangguk atas kehendak sang ayah namun bergeming untuk bertindak. Ketika penjelasan dan dalih disampaikan, ayahnya tak kunjung tersambung. Lalu, berakhir sama : rengekan yang berulang kali minta dipenuhi. Dan dirinya pun sama, hanya kuping yang mendengar tanpa mengamini.

Hari demi hari ia makin gusar dan tak kuat menahan diri. Akhirnya ia memutuskan untuk berlari. Lari dari suasana kebersamaan itu, dan mengurangi obrolan yang selama ini terjalin. Demi menghindar dari luapan dilema yang kian tak terbendung. Jiwanya berteriak pada keadaan yang membingungkan, tanpa suara. Hanya lara. Kenapa hubungan putra dan bapak harus sedemikian pelik. Ia tak tega menghindar tapi juga terlalu lelah untuk mendengar. Rengekan minta dipenuhi. Dan ia tahu, ayahnya tak akan pernah lelah untuk terus meminta.